Potret warkop botimoon yang terkenal di kota Rantauprapat | Foto: Labuhanbatu.net |
Labuhanbatupos News - Nama Warkop Botimoon kian menjulang. Dari hanya mengandalkan keterbatasan, kini dapat dikatakan hadir lebih dari kebiasaan.
Usaha milik Hendra Afriadi Harahap, putra asal Rantauprapat, Labuhanbatu, Sumut itu, kini kerap diperbincangkan khalayak ramai. Sejalan waktu, pesan yang bergulir pun berbeda-beda.
Masih teringat, beberapa tahun lalu di mana masih berusia beberapa bulan, usaha itu pun terkesan tak ada yang perduli.
Keberlangsungan warung kopi di penghujung Jalan Sibuaya, Kelurahan Sioldengan, Kecamatan Rantau Selatan, Rantauprapat itu, berjalan apa adanya.
Entah bagaimana, pasca berubahnya tampilan, baik segi bangunan hingga fasilitas pelayanan, Warkop Botimoon akhirnya menjadi sasaran empuk pemikir berlatar belakang dari berbagai profesi.
Ada menghujat dengan alasan berbeda-beda, tetapi tidak sedikit pula yang memiliki cara berpikir terbalik. Intinya, kali ini pola pikir negatif dan positif semakin bermunculan.
Apa sebab? Hal inilah yang menjadi buah bibir para pembaca, pendengar atau pemirsa. Memandang isu yang dilontarkan pemerhati, sebagian mengulas tentang letak atau keberadaan Warkop Botimoon.
Mereka para pemerhati yang sepakat dengan cara pandang posisi warkop berada pada sebuah titik kurang diperkenankan, secara bombastis dan menggebu-gebu ikut berkomentar khususnya di dunia maya.
Selain isu kemungkinan rusaknya lingkungan hidup karena posisi bangunan warkop berada di pinggir Sungai Bilah Rantauprapat, juga berbicara akan banyaknya sampah yang berserakan.
Dalam tulisan ini, mari kita sama-sama melihat jauh ke depan berkaitan dengan sikap yang dilakukan. Profesional juga harus dijunjung tinggi dalam menjalankan setiap pekerjaan sehari-hari.
Yup, ayo kita lihat informasi apa yang kini menghiasi media sosial. Pertama, mungkin tidak muluk-muluk jika kita mengatakan ‘kisruh’ warkop Botimoon karena letaknya. Sebab, kita juga tidak boleh menjustice kisruh itu dilatar belakangi keirian semata.
Tapi, apakah kita pernah berpikir mungkin masih banyak bangunan yang berdiri megah di pinggiran Sungai Bilah Rantauprapat, apakah juga pernah kita menyoal kegiatan lainnya di lokasi yang kita nilai tidak boleh diusahai.
Lantas, apakah kita tidak melihat kegiatan lainnya yang juga mengambil lokasi di pinggir sungai, bahkan menggunakan alat berat mengutak-atik aliran sungai. Ada yang mengeruk, mungkin ada yang mengalihkan jalur.
Pantaskah kita selaku pemerhati perduli terhadap keberlangsungan lingkungan ataupun penegakan hukum?. Mungkin kita sepakat mengatakan harus perduli tanpa memandang kepentingan apapun.
Penelusuran, rata-rata sumber yang kini ikut berkecimpung menuangkan pikirannya, memiliki latar belakang berbeda-beda profesi.
Jika kembali ke awal dan niat, maka timbul berbagai asumsi, pertama apakah pembahasan warkop Botimoon itu dilakukan atas dasar profesional, atau keirian atau hanya memiliki kepentingan pribadi.
Penulis pun tidak ingin berspekulasi akan niat para pekomentar. Masih banyak hal mendasar berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang juga layak jadi pembahasan dan segera harus selesai.
Banyak keresahan yang dirasakan, misalnya saja berkaitan dengan narkoba, judi, pemalsuan pupuk subsidi, oplosan gas elpiji, langkanya minyak goreng, naiknya tarif listrik, naiknya harga BBM, isu SARA dan lain sebagainya.
Apakah kita tidak mengetahui hal itu. Kurang tepat rasanya kalau pemerhati tidak memahami isu tersebut atau bahkan memungkinkan telah kita rasakan.
Lantas, apa yang mendasari kita ketika berbuat, membahas atau mengkaji suatu hal. Sebaiknya, jangan karena kepentingan pribadi, kita terbawa dan lupa akan masalah sosial lainnya, bahkan nyata-nyata telah dirasakan.
Warkop Botimoon memang tidak seperti dahulu. Menurut pemiliknya Hendra Afriadi Harahap, kini terdapat 70-an warga yang bekarja di sana. Setiap bulannya, selain honor/gaji, pihaknya juga menanggung makan dan minum pekerja.
Pastinya, warkop milik pria brewok akrab disapa Hendra Kobain itu, mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Untuk seperti sekarang ini, banyak mungkin yang dikorbankan, materi, pikiran, waktu untuk keluarga juga mungkin tersita.
Terakhir, penulis memandang perlunya kritis terhadap sebuah kebijakan yang menimbulkan gangguan sosial masyarakat tanpa embel-embel mencari keuntungan pribadi. Kisruh Warkop Botimoon, apakah demi kepentingan umum atau mencari keuntungan pribadi?
Sumber: Labuhanbatu.net